Tari
’rondhing’ dan tari topeng ’gethak’ dua jenis tari tradisional peninggalan
budaya leluhur warga Pamekasan, Madura, Jawa Timur, kini masih lestari, bahkan
jenis kesenian ini mulai diajarkan kepada para pelajar di wilayah tersebut.
"Ada beberapa sekolah di Pamekasan ini yang sudah
mengajarkan siswa-siswinya tari ’rondhing’ dan tari topeng ’gethak’," kata
Kepala Seksi (Kasi) Pembina Seni Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, Dinas
Pemuda Olahraga dan Kebudayaan (Disporabud) Pamekasan, Halifaturrahman.
Ia menjelaskan, ada enam lembaga pendidikan yang mulai
mengajarkan siswa-siswinya tari ’rondhing’ dan topeng ’gethak’ di Pamekasan.
Namun, yang mulai terlihat berhasil ialah di dua lembaga, yakni SDN Laden dan
SDN Kangenan II Pamekasan.
Menurut Holifaturrahman, dua jenis tari ini mulai
diajarkan kepada para siswa sebagai kegiatan kurikuler, karena merupakan jenis
kesenian unggulan di Pamekasan.
Di samping itu, kedua jenis tari ini juga sudah
mendapatkan hak paten dari Menteri Hukum dan HAM sebagai jenis tari tradisional
yang merupakan hasil kreasi warga Pamekasan.
"Makanya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan
menetapkan kedua jenis kesenian tradisional itu sebagai jenis kesenian unggulan
di Pamekasan," kata Halifaturrahman.
Di Pamekasan sendiri banyak jenis kesenian tradisional
yang mulai berkembang. Seperti tari ’pecot, tari ’samper nyecceng’ dan tari
’dhanggak’.
Tari ’pecot’ merupakan salah satu jenis tari yang
biasa ditampilkan pada acara pembukaan karapan sapi dan tari ’samper nyecceng’
merupakan tari khas Madura yang biasanya ditampilkan pada acara karnaval,
sedang tari ’dhanggak’ merupakan tari-tarian yang berkembang di kalangan
masyarat pesisir.
Namun, dari berbagai jenis tari tersebut yang banyak
diminati dan secara sosial budaya dinilai cocok dengan kondisi kabupaten
Pamekasan ialah tari ’rondhing’ dan tari topeng ’gethak’.
Menurut pelatih tari rondhing dan tari topeng gethak
Lukman Hakim, kedua jenis kesenian tradisional yang kini dijadikan sebagai
kesenian tradisional unggulan di Pamekasan oleh pemkab setempat, karena memang
mengandung nilai filosofis perjuangan masyarakat di kota itu ketika melawan
penjajahan Belanda dulu.
Pada gerakan tari rondhing, misalnya. Menurut Lukman,
di dalamnya menggambar pola baris berbaris, layaknya sebuah pasukan, bahkan
tari yang diperankan oleh lima orang ini juga sering juga disebut sebagai tari
baris.
"Rondhing ini kan berasal dari "rot"
artinya mundur, dan "kot-konding" artinya bertolak pinggang. Jadi
tari rondhing ini memang menggambarkan tarian sebuah pasukan bagaimana saat
melakukan baris-berbaris," kata Lukman menjelaskan.
Sebagaimana tari ’rondhing’, tari tari topeng ’gethak’
juga mengandung nilai filosofis perjuangan warga Pamekasan saat berupaya
memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dulu.
Hanya saja, kata Lukman Hakim yang juga guru di SDN
Kangenan II ini, yang lebih ditonjolkan dalam tari topeng ’gethak’ tersebut,
pada upaya pengumpulan massa, bukan pada pengerahan pasukan sebagaimana pada
tari ’rondhing’.
Selain itu, jumlah penari juga berbeda, meski disatu
sisi memiliki kesamaan filosofis. Tari topeng ’gethak’ dimainkan oleh satu
hingga tiga orang penari, sedang tari rondhing lima orang penari.
"Lima orang penari itu wajib kalau dalam tari
rondhing. Berbeda dengan tari topeng ’gethak’ yang bisa dimainkan oleh satu
orang penari tunggal," kata Lukman Hakim menjelaskan.
Topeng, dalam bahasa Madura disebut dengan
"topong", yang berarti penutup wajah. Sementara ’gethak’ berasal dari
kosa kata Madura "gen, gen, tak", yakni suara salah satu instrumen
musik pengiring tari berupa gendang.
Sesuai dengan namanya, jenis seni tari topeng ’gethak’
ini memang menggunakan penutup wajah, dan langkah gerak dalam pertunjukan tari
topeng ’gethak’ itu disesuaikan dengan bunyi gendhang.
"Tari topeng gethak ini sebenarnya merupakan
tiruan dari penyajian topeng dalang dengan tokoh Balodewo," kata pelatih
tari topeng gethak di Pamekasan, Lukman Hakim menuturkan.
Topeng penutup wajah, kata dia, memang merupakan salah
satu kelengkapan busana dalam tari jenis tradisional di Madura ini, berikut
’jamang’, yakni sejenis perhiasan yang biasa dipakai layaknya mahkota pada
jaman kerajaan yang diikat di bagian kepala sang penari.
Baju dan celana yang digunakan juga berupa baju dan
celana ala prajurit kerajaan yang dilengkapi dengan kaos kaki dan kaos tangan
dengan memegang sapu tangan.
Sementara instrumen musik pengiring tadi berupa
gamelan yang oleh masyarakat Madura disebut dengan ’tabuan kenek’. Yakni hanya
terdiri dari gendang, tiga buah bonang (kenong telok, dalam bahasa Madura) dan
musik ’saronen’, sejenis musik tiup layaknya terompet.
Menurut pelatih tari topeng gethak Lukman Hakim, jenis
musik pengiring tari topeng ’gethak’ itu sudah menjadi ketentuan dari para
leluhurnya zaman dulu.
"Dari dulu memang hanya seperti itu alatnya.
Sampai sekarang tetap tidak ada penambahan sedikitpun," katanya.
Pelatih tari ’rondhing’ dan tari topeng ’gethak’
Lukman Hakim menuturkan, untuk mempelajari kedua jenis tari tradisional
tersebut tergolong rumit.
Di sampaing membutuhkan keseriusan untuk memahami
berbagai aneka gerak tari, sang penari juga harus memiliki dasar-dasar ilmu
bela diri.
"Kalau mereka memiliki dasar-dasar jurus ilmu
bela diri, maka akan mudah untuk memahami gerakan-gerakan dalam tari topeng
’gethak’ maupun tari ’rondhing’. Kedua jenis tari ini kan juga merupakan
pengembangan dari gerakan beladiri dasar," katanya.
Oleh karenanya, sambung pelatih sanggar tari di SDN II
Kangenan, Kecamatan Pamekasan ini, musik pengiring yang digunakan merupakan
musik pengiring yang memang digunakan dalam pertunjukan pencak silat di Madura,
yakni "tabuan kenek".
Menurut Lukman, "tabuan kenek" merupakan
seperangkat gamelan yang terdiri dari tiga buah bonang, tiga buah gong, gendang
dan ’saronen’ yaitu berupa musik tiup sejenis terompet.
Pada kurun waktu 1980-an hingga 1998 lalu, kedua jenis
kesenian tradisional ini nyaris punah, karena tidak ada generasi muda yang mau
mempelajarinya.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, serta
didorong oleh keinginan warga Pamekasan untuk mengembangkan kembali kesenian
tradisional yang ditandai dengan maraknya musik ’ul-daul’ yang juga merupakan
musik tradisional di Madura pada sekitar tahun 1998 lalu, maka berbagai jenis kesenian
tradisional lain yang ada di Madura dan Pamekasan pada khususnya mulai
dihidupkan lagi.
Keinginan untuk tetap menjaga kelestarian budaya
tradisional warga Madura, kata Lukman semakin kuat setelah jembatan
Surabaya-Madura dibangun sebagai upaya membentuk budaya tanding akan
kemungkinan budaya asing masuk ke Madura setelah nantinya pulau Madura menjadi
daerah industri.
"Kebijakan pemkab yang meminta lembaga
pendidikan di Pamekasan mengajarkan murid-murid berbagai jenis kesenian
tradisional menurut hemat saya berpengaruh untuk tetap melestarikan budaya
leluhur yang ada, khusus tari ’rondhing dan tari topeng ’genthak’ ini,"
kata Lukman Hakim.
Category:
Budaya
POST COMMENT
0 komentar:
Post a Comment