RUU Desa Potret Negara Kesejahteraan Dan Oposisi Dalam Rezim SBY – Boediono

By Unknown on Senin, 06 Agustus 2012 with 0 comments

Rancangan Undang - Undang Desa ini merupakan agenda mendesak yang harus di selesaikan oleh DPR, bahwa pengesahan Rancangan Undang - Undang Desa sangat mendesak. Sebab selama ini, desa tidak mempunyai kewenangan untuk menyusun perencanaan pembangunan. Pemerintah sejak tahun 2007 tidak pernah beritikad baik terhadap perangkat desa. Karena tidak ada keseriusan pemerintah pusat untuk merealisasikan pembahasan kedua Rancangan Undang - Undang tersebut. Sebagian tokoh politik mensinyalir adanya upaya pendistorsian substansi Rancangan Undang - Undang Perdesaan, dihilangkannya alokasi dana desa sebesar 5 persen dari total APBN oleh pemerintah pusat adalah buktinya. Pandangan selama ini yang terjadi adalah pemerintah pusat tidak memberikan keleluasaan untuk mengelola pemerintahan desa, dengan selalu mencampuri dan intervensi melalui instrumen partai. Karenanya, Kekecewaan terhadap pemerintahan SBY terus memuncak. Respon pun tidak bisa di hindari dari kalangan tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, tokoh-tokoh nasional dan pengamat politik dan berbagai daerah di negeri ini yang menilai pemerintahan SBY telah gagal menjalankan amanat rakyat. Salah satu bukti kegagalan adalah ketidakseriusannya memikirkan kesejahteraan rakyat dan hanya menjadikan desa sebagai lahan eksploitasi para pemodal melalui adu domba dan hasutan politik berbau kepentingan terhadap kepala desa dan perangkat desa seluruh Indonesia, sebagaimana yang terjadi di Lambu Sape Kab. Bima. Padahal, jauh sebelum itu, pemerintah pusat sejak tahun 2006 telah menginisiasikan Rancangan Undang - Undang Pedesaan dengan segala konsekwensi yang bersifat proforsional. Namun hingga kini tidak ada perkembangan sama sekali karena tidak adanya itikad yang baik pemerintah pusat untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat.
Kegagalan Rancangan Undang - Undang Desa menjadi Undang Undang karena banyak persoalan yang justru telah di buat oleh pemerintah pusat sendiri, sala satunya yakni tidak ada sistem penyesuaian terhadap kondisi sosial dan kultural masyarakat sehingga lambat laun kepentingan akan kesejahteraan masyarakat terabaikan. Hal inilah yang menjadi preseden buruk bagi rezim SBY - Boediono dengan banyak melakukan kebohongan terhadap publik yang telah di rekayasa sedemikian rupa. Akibat dari ini semua, maka menilai tingkat keragaman dan kecerdasan masyarakat dalam menyikapi timbul tenggelamnya pembangunan masyarakat itu sendiri, menjadi pudar dan justru berbalik seperti harimau yang kehilangan anaknya. Karena memang logika masyarakat semacam ini sudah mengalami frustasi dengan menonjolkan sikap oposisi terhadap pemerintah (Rezim saat ini). Sungguh kelam nasib bangsa dan negara ini, ratusan rakyat di bunuh (tembak) untuk melanggengkan kekuasaan pemilik modal. Sementara rakyat hanya bisa menonton dengan mata telanjang praktek-praktek kekerasan dan korup para penguasa. Inilah yang menjadi penyebab para tokoh oposisi mengatakan rezim ini hanya melakukan pembohongan belaka sekaligus pembantai rakyat. Persoalan ini terjadi secara sistemik dan rakyat ditembaki peluru tajam. Seharusnya, SBY menjadikan tahun 2012 yang berjalan sekarang ini sebagai tahun kebangkitan kesadaran rakyat untuk menjadi lebih baik, dengan menjadikan nasib rakyat sebagai prioritas. Karena selama ini rakyat terus ditindas, dianiaya dan menjadi bulan-bulanan kebohongan pemerintah. Rakyat pun terjual untuk kepentingan (global investment) para pemodal. Maka tidak salah kemudian ketika banyak para mahasiswa dan masyarakat maupun tokoh oposisi tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah, mereka semua hanya memiliki ide, gagasan dan cita-cita untuk mengganti Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, dan Kepala Desanya sendiri.
Belum lagi kita membicarakan kondisi dan prilaku para elit di pusat kekuasaan bahwa selama ini tidak memberikan respon positif terhadap keinginan - keinginan grass root. Sebaliknya, pemerintah malah sengaja membiarkan agar aturan itu tidak jadi diundangkan. Tentu aksi demo kepala desa sekarang ini, berbeda dengan rezim suharto yang tidak pernah tercatat dalam sejarah bahwa kepala desa demo pada zaman suharto. Undang - Undang Desa sangatlah bagus karena bertujuan membuat desa mandiri, sejahtera, dan makmur. Mana mungkin mewujudkan rakyat desa yang makmur dan mandiri, jika kewenangan desa tidak dilindungi Undang - Undang dan bila tidak ada uang untuk membangun irigasi dan jalan di desa-desa. Selain itu juga, banyak kepala desa yang tidak memiliki gaji dan tunjangan tidak sehingga selalu terjadi masalah. Perangai buruk di kalangan pemerintah saat ini yang membuat seluruh keinginan masyarakat tidak bisa terwujud. Kalau tidak ada yang membayar, pemerintah ogah-ogahan membuat sebuah undang-undang. Sementara kalau ada yang membayar, ada titipan dari pihak asing, sekalipun merugikan rakyat, pemerintah bekerja cepat membuat sebuah undang-undang. agar kepala desa meninjau keberadaan Alfamart, Indomart dan mart-mart sejenisnya. Mereka sudah merugikan dan membunuh pasar tradisional. Seharusnya keberadaan alfamart ini di berikan warning yakni Pertama, menutup mereka secara permanen. Kedua, buka tapi hanya untuk melayani grosir, dan ketiga, sahamnya dimiliki oleh rakyat. Kewajiban, hak, dan kewenangan desa selama ini dimanipulasi dengan PP 72/2005 dimana tugas desa hanya sebagai perbantuan. Tuntutan perangkat desa adalah wajar agar kewajiban, hak dan kewenangan desa diperjelas dalam Undang - Undang Desa. Satu diantara sepuluh poin yang mereka tuntut adalah agar 10 persen APBN dialokasikan untuk desa. Dengan begitu, setiap desa akan mendapat sekitar Rp 1 miliar per tahun. Selama 2009 hingga 2011 ada alokasi uang sekitar Rp 82 triliun untuk desa, dengan PNPM dan program lain-lainnya itu. Kalau alokasi ini dihitung memang hasilnya tiap desa mendapat Rp 1 miliar. Tapi anehnya, setelah dana itu dikucurkan melalui 14 kementerian, yang nyata diterima desa cuma Rp 200 juta saja. Kemudian yang Rp 800 juta itu kemana, apakah habis sebagai ongkos di 14 kementerian itu atau habis dikorupsi. Dugaan rakyat itu wajar, karena memang elit politik terkesan acuh tak acuh dengan Undang-undang Desa. Takut-takut kalau lahan korupsi tidak ada lagi.
Perjuangan untuk merealisasikan kesejahteraan melalui Undang-undang desa akan menjadi buktinya nyata kedepannya bahwa rakyat akan benar-benar sejahtera dan adil. Sesungguhnya UU ini sudah lama diperjuangkan. Namun tidak terbukti keberpihakan pemerintah pusat dan mendagri. Padahal Undang - Undang itu bisa mensejahterakan dan membuat desa mandiri. Ini modal sosial bernilai tinggi dalam rangka melanjutkan perjuangan yang di peruntukan bagi masyarakat di tingkat grass root. Sesungguhnya Undang-undang ini milik rakyat Indonesia. Maka selayaknya DPR dan pemerintah pusat yakni SBY - Boediono untuk segera mensyahkan Undang - Undang Desa, jangan menunda dan banyak alasan. Namun nyatanya kita melihat sekarang dari sikap seorang Presiden SBY dan DPR malah menunda-nunda untuk mensyahkan Undang-undang desa. Kalau saja hal ini di percepat tentu akan memberikan keseimbangan pembangunan di seluruh daerah dan tentu desa akan sejahtera dan mandiri. Kekhawatiran yang terjadi adalah kalau saja Undang - Undang Desa ini disponsori asing, maka pengesahan pun dipercepat. Paradigma yang ada sekarang ini, kalau Undang - Undang untuk rakyat tidak didengar, malah diperlambat, di permainkan dan kalau saja Undang - Undang itu diiming-imingi, di tuker dengan pinjaman maka semua kekuatan akan mengerahkannya untuk melegalisasikan lebih cepat. Mengapa demikian karena memang untuk kepentingan bisnis mereka. Hal ini sudah menjadi rahasia umum karena rakyat tidak mampu membayar. Ada beberapa hal yang sangat krusial juga bagi negara dan pemerintahan yang ternyata meragukan bahwa dalam RUU Desa terdapat berbagai kelemahan yakni  perlunya dana desa, pengaturan dana desa sendiri tak akan diatur oleh pusat.
Tentu Rakyat berharap banyak kepada pemerintah pusat akan impian tentang negara dan daerah kesejahteraan sehingga keadilan dalam sistem negara yang multipartai ini segera terealisasikan. Harus di ingat bahwa alokasi anggaran untuk desa harus terintegrasi 10 persen dari APBN. Sebab, hal ini sangat penting bagi desa dan akan membuktikan bahwa paradigma pembangunan pemerintah tidak hanya berorientasi ke kota melainkan sudah pro-desa. Dengan mengesahkan RUU Desa juga menjadi faktor pemicu pembangunan dan percepatan pengentasan kemiskinan maupun buta aksara di setiap desa, sebab lebih 50 persen kemiskinan berada di desa. Namun jika pemerintah bersih keras untuk mempertahankan kebijakan yang tidak pro desa, maka ini akan menjadi polemik besar dalam konteks negara bangsa dan justru akan tercerabut akar-akar kehumanisan serta kekuatan kultural yang selama ini menjadi penopang persatuan dan kesatuan. Karena memang selama ini yang menciptakan kemiskinan adalah negara itu sendiri. Maka di situlah letak kekuatan oposisi bergerak untuk menuntut haknya menjadi negara kesejahteraan.
Penulis adalah : Rusdianto BPH DPP IMM Bidang Media Dan Pengembangan Teknologi, Pimred Tabloid Kauman Dan Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta

Category:

POST COMMENT

0 komentar:

Post a Comment